Kamis, 24 April 2014

Wajah Pertanian Indonesia



  
    Pertanian indonesia  telah memasuki masa krisis.Tanah sebagai hak hidup untuk menanam di rampas dengan semena-mena oleh perusahaan berkorporat ;investor,pemerintah,militer bahkan kesultanan.konflik agraria yang berakhir dengan putusnya nyawa tak bisa dihindari di seluruh daerah di negeri ini.
  
Seperti yang terjadi di dekat kita kawasan petani pesisir kab.kulon progo .Lahan petani di alih fungsikan  menjadi tambang pasir besi oleh Perusahaan milik “keluarga keraton Yogya kemudian berkongsi dengan Indo Mines Ltd. dari Perth, Australia Barat, menjadi PT Jogja Magasa Iron (JMI), yang berencana menambang pasir besi di pantai Kulon Progo sepanjang 22 Km, mengolahnya menjadi pig iron dan mengekspornya ke Australia. Tak lama setelah Sultan menyatakan siap jadi calon presiden, pemerintah dan PT JMI menandatangani kontrak karya pertambangan pasir besi di Pantai Bugel, Kulonprogo, selama 30 tahun”, (Koran Tempo, 12/11/2008).

  Petani telah turun ke jalan dan melakukan aksi penolakan selama beberpa tahun terakhir. Akan tetapi pihak korporasi seolah menutup telinga dan melakukan penagkapan secara ilegal untuk tokoh yang sangat berpengaruh dalam lingkungan masyrakat petani lahan pesisir tersebut.Seperti yang di alami Tukijo, seorang petani yang di tangkap secara paksa  tanpa alasan ataupun landasan hukum yang jelas Dari kepolisian maupun PT JMI.Dari hal ini kita dapat melihat dengan jelas bagaimana ‘’kebuasan’’ penegak hukum,korporasi,maupun pihak kesultanan, tidak segan-segan melancarkan berbagai tindakan seperti perampok yang ingin mengincar apa yang ia ingin rampok.

 Terlepas dari masalah di atas , di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini khusunya di bidang pertanian peran pemerintah sebagai pemegang kuasa dalam pengambilan keputusan mulai dari pusat hingga di berbagai daerah mengeluarkan kebijakan atau aturan-aturan yang mempersudut petani dan ruang geraknya untuk beraktivitas secara normal yaitu bertani.Kasus terbaru adalah tergabungnya indonesia sebagai anggota AEC (Asean Economi Comunity) menandakan nasib petani di negeri ini ibarat seperti anak SD yang di    kasih materi SMA oleh guru, padahal secara kemampuan dan daya pikir tidaklah mungkin anak SD dapat menerima apa yang di ajarkan di SMA, seperti halnya dengan kualitas SDM (sumber daya manusia) petani indonesia yang masih di bawah rata-rata di karenakan yang dominan adalah berlatar belakang lulusan SD dan SMP tidaklah mungkin bersaing di AEC yang notabenenya pasar bebas (free market) yang menunutut seorang pelaku usaha harus berkompetisi “ melawan’’ pelaku usaha lainnya yang bukan hanya di dalam negeri.
   
 Memang jelas 30 tahun terakhir ini indonesia tak berdaya membentengi diri untuk menghadapi arus globalisasi  berwatak kapitalisme dan liberalisme yang sistemnya membebaskan sesorang atau negaranya meraup keuntungan dari sebuah negara berkembang yang kaya akan SDA secara  ganas tanpa melihat keberlangsunag hidup atau kedaulatan negara yang di jajah.
  
  Inilah wajah pertanian indonesia dalam konteks kekinian.akankah pertanian indonesia   berjaya  dengan mengndalkan tanah yang luas, dan kualitas SDM yang mapan?.


   “Masalah pangan adalah masalah bangsa, sebelum perut di isi pasir dan  batu: Mari kita selesaikan secara anarki melawan kekuasan tirani”
                                                   _SUARA MAS CANGKUL_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar