
Masih tertancap matang di kepala saya,
beberapa minggu yang lalu, saya ‘Wong
Timur’ di rasis habis-habisan di kota Yogyakarta yang ‘Berbudaya’ Ini.Jumat, (7/8/2015) malam
sekitar pukul 21.00, terjadi penganiyaan di depan salah satu kampus swasta di
jalan Timoho, Gondukusuman, Daerah Istimewah Yogyakarta.Tersangkanya seorang
Mahasiswa bernama Anis, yang berasal dari Papua, dan korban M.Firza (20).Dari
kasus yang menewaskan M.Firza inilah, saya dan kawan-kawan yang di kelompokan
dengan dua kata:’Wong Timur’, terbawa
perasaan was-was karena takut dengan berbagai ancaman yang di sebar dengan via
Media Sosial sehingga, dalam beraktivitas pun berjalan dengan pikiran yang tertekan.
Setelah kejadian itu hp saya berdering
tanda dua pesan masuk secara bersamaan, yang isinya sebuah himbauan untuk saya
dan teman-teman agar berhati-hati, karena ada ancaman penyisiran ‘Wong
Timur’.’’Kawan-kawan, diharapkan dalam beberapa waktu kedepan ini jangan ada
yang keluar malam.Ormas dan warga Yogya sedang adakan razia karena tadi ada bentrokan antara
mahasiswa papua dan warga yogya, di depan kampus **MD (Red).Takutnya kawa-kawan
jadi salah sasaran.Sebarkan... Salam Manis!”.Pesan ini dikirim oleh teman saya bernama
Novet (Halmahera Utara), dan Sahman (Pulau Morotai).Saya pun bergegas
menanyakan kronologis kejadian pada beberapa teman yang alamatnya tidak jau
dari TKP.Jawaban mereka sama yang di beritakan pada beberapa media online
sesaat kejadian itu terjadi.Pukul 23.00 (WIB), saya langsung menghampiri
kos-kosan dan kontrakan saudara-saudara saya yang berasal dari Kepulauan Sula,
untuk memberitau pesan tersebut.Setibanya di kontrakan salah satu saudara saya
bernama Rifandi Pauwah, ketika mengetok pintu, di dalam rumah ada yang
teriak:”Buat kode”.Entah kode apa yang di maksud.Saya pun membalasnya
dengan:”Ini beta, Idra”.Dibukalah pintunya, dan saya masuk.”Kalo masuk, beri
kode.Keadaan mencekam seperti ini kita harus hati-hati, jangan sampai ada
penyerangan di kontrakan”, kata Rifandi kepada saya.Singkatnya mereka sudah tau
berita itu, dan saya lanjut ke kos-kosan dan kontrakan saudara saya yang lain.
***
Berselang beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal Jumat, (14/08), beredar
kembali di media sosial bahwa, ada bentrokan antara Mahasiswa Papua dan Warga
Yogya, di depan Hotel New Shapir, Jl.Laksada Adisucipto, Gondokusuman,
Demangan, Daerah Istimewa Yogyakarta.Dengan foto-foto yang mengambarkan suasana
yang lagi memanas, sontak hal tersebut membuat rasisme makin marajalela.Ada
seorang pengguna Twetter berinisial LJ berkicau:” Sultan hrs turun tangan ne
orang timur bikin kerusuhan lagi,jogja ini kota pelajar disi bukan cari
kerusahan tapi cari ilmu.Lebih baik usir #Timoho”, lontarnya dan di balas
pengikut akunnya dengan kalimat-kalimat Diskriminatif terhadap ‘Wong
Timur’.Padahal banyak yang tidak lihat apa yang terjadi di lapangan, yang
terjadi pada hari itu adalah aksi penolakan Pembangunan Bandara, oleh para
petani dari Kab.Kulon Progo, yang melakukan aksinya di Jl.Malioboro, Titik 0
(Nol) kilometer, DIY.
Kasus penganiayaan yang menewaskan M Firza (20) di atas, mengingatkan
saya pada pengroyokan terhadap saudara saya Alm.Zulfikar Majid yang pelakunya
pengamen ,pada Jum'at, 15 Agustus 2014 yang lalu,sekitar pukul 22.00
WIB.Kronoligisnya, berawal dari Alm.Zulfikar bersama kawan-kawannya yang
berasal dari Halmahera Tengah berencana mengadakan penggalagan dana berupa
pentas budaya di Taman Batik, Jl.Malioboro, Kawasan Nol KM, DIY, untuk kegiatan Malam Keakraban oraganisasi
daerah mereka.Sesampainya di jalan Malioboro, mereka mangkal di depan Monumen
Serangan 1 Maret, menunggu kawan-kawan mereka yang belum tiba.Mereka yang duduk
santai, di hampiri empat orang pengamen.Asrul, salah satu kawan Alm.Zulfikar
memberi tanda maaf kepada pengamen bahwa mereka tidak ada uang.Para pengamen
tidak menggubris, mereka tetap bernayanyi.Tak terima tidak di beri uang, salah
seorang pengamen langsung membentak:”Seribu aja”.Asrul langsung membalas:”Kalian
pengamen atau preman, kami benar-benar tidak ada duit”.Kata asrul.Salah satu
pengemen langsung menarik- kerah bajunya.Alm.Fikar yang tak terima dengan
perlakuan pengamen, langsung melerai dan adu mulut pun terjadi dan berujung
pada pengroyokan terhadap Alm.Fikar dan Asrul.Singkatnya, Asrul selamat dalam
kejadian itu dan Fikar tewas selang beberapa hari kemudian.Yang anehnya,
seorang pengamen berteriak:”Wong Jogja e..”, (Bermaksud, memanggil massa untuk
mengkroyok Fikar dan Kawan).
Kronologis ini saya di beritahu langsung
oleh Asrul.
Setelah pengroyakan itu saya juga ikut dalam pengwalan persidangan di
Pengadilan Tinggi Negiri (PTN) Yogyakarta.Proses mengadili tersangka sangat
lama, dikarenakan ada seorang pelaku yang ayahnya salah satu Perwira Kepolisian
di Yogya, dan mengintervensi persidangan.Yang membuat kami tak puas dengan
proses hukum, tidak ada pemberitahuan jadwal persidangan dan kesaksian saksi
yang mengatakan pelakunya lebih dari empat orang, tidak di gubris oleh
kepolisian untuk meuntaskan kasus ini seadil-adilnya.Pada bulan Maret 2015,
hasil persidangan di PTN Yogyakarta memutuskan para pelaku di jatuhi hukuman
kurang delapan tahun.Pertanyaannya apakah saya, saudara dan kawan dari
Alm.Fikar , akan membalas aksi kejahatan ini?, jawabannya tidak!.Saya dan
kawan-kawan yang berasal dari Maluku Utara berstatmen:”Adili pelakunya sesusai
hukum yang berlaku, hukum jangan pandang bulu”,pada aksi Anti-Diskriminasi, di
PTN Yogyakarta sesaat sebelum pembacaan tuntutan.Saya dan kawan-kawan sadar, orang
tua hanya menitipkan kami di Yogya ini hanya untuk kuliah:itu saja.Pembunuhan
yang di alami Alm.Fikar, hanyalah musibah dari tuhan.
***
Apa bila saya di tanya, apakah anda pernah di rasis?. Jujur, kadang saya
hanya diam dan menatap mata orang yang menanyakan hal tersebut.Masalah rasis,
membawa kuliah saya hancur.Saya yang saat ini menjadi Mahasiswa Semeter tujuh
,di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fakultas Pertanian, sempat
mengalami masa-masa suram.Hampir empat bulan saya tak mengikuti perkuliahan,
karena depresi.Pada semeter empat yang lalu, Dosen di salah satu Jurusan saya
Agribisnis, mengdiskriminasi saya dengan berkata:”Dasar timur, sifatnya
jelek-jelek”.Kejadian ini bermula ketika saya membela sorang teman baik saya- bernama Udin (Yogya), ketika ia di
kritik habis-habisan oleh sang dosen dan kawan-kawan di kelas kulaih
tersebut.Kejadian ini membuat saya merasa malu, dan tidak layak lagi berkuliah
di UMY-Sampai saat ini saya masih tertekan, dan tidak masuk kampus.Apakah saya
dendam dengan dosen yang mendiskrimiasikan saya?, jawabannya:Tidak.Saya terlalu
banyak mengalami hal seperti ini.Apa bila dendam saya akan ‘mecelekai’ puluhan
orang di Kota Yogyakarta ini.
Stereotype atau stigmatisasi “Wong
Timur” (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua),
adalah sumber ‘kejahatan dan keonaran’ di Yogyakarta, sudah masuk pada sesi
akut.Banyak kawan-kawan saya Laki-laki maupun Perempun yang kulitnya condong
Ras Malenesian yaitu hitam-kecoklatan dan berambut keriting, apa bila mencari
kos-kosan atau kontrakan, sering di tanya:”wong Timur?, maaf.. kosannya sudah
penuh”.Hal ini saya pun mengalaminya sendiri.
Dalam penjelasan secara hukum, diskriminasi ras dan etnis adalah segala
bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras
dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan,
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan
di bidang sipil, politik,ekonomi,sosial dan budaya.
Pandangan saya terhadap masalah diskriminatif ’Wong Timur’ ini, sebagai solusi nyata banyak saya sendiri dan
kawan-kawan ‘Wong Timur’’ lainnya
sudah perbuat.Misalkan pada sepanjang bulan Ramadhan kemarin kami dari
Mahasiswa Maluku Utara, mengadakan pentas seni di Taman Batik, Jalan
Malioboro.Dengan tujuan memperkuat silaturahmi di bulan Ramadhan dengan
kesenian Qasidah dari Provinsi Maluku Utara.Adapun Hari ulang Tahun
Kab.kep.Sula, yang saya dan teman-teman Sula, adakan di Monumen Serangan Umum 1
Maret, Jalan Malioboro.Pada tanggal 6 juni, yang lalu.Dengan Tema “Manatol
(Persaudaraan) dari Sula Untuk Indonesia”.Ivent ini di kunjungi sekitar 750
pengunjung.Di isi dengan- pementasan budaya, dan Teater dengan Naskah ‘’Fat Banas”,
yang menceritakan kisah adu domba Portugis terhadap rakyat sula.Bernuansa
kedaerahan, akan tetapi pesan dari acara ini adalah rasa cinta Kebihinekaan
Tunggal Ika.Terakhir, pada tangggal 5 agustus kemarin, saya bersama kawan-kawan
dari Front Mahasiswa Nasional (Fmn),Sekolah Bersama (Sekber), dan Mahasiswa
Maluku Utara mengadakan Aksi Budaya menuntut Pemerintah Daerah Istimewah
Yogyakarta (DIY) mennghentikan maraknya pembangunan hotel dan lindungi Petani
kulon Progo dari serbuan pemodal.Beberap Ivent ini atas adalah sesuatu konkrit
yang telah dilakukan, dengan tujuan menjunjung langit Yogyakarta bersama
isinya.
Untuk solusi kedepan, Sudah menjadi urgen seharusnya ada ruang dialog
intens, antara perwakilan masyarakat Yogyakarta, Mahasiswa “Wong Timur”, Pemda, dan Pihak Keamanan.Ketika hal ini dilakukan
akan lahir perbincangan yang isinya lintas budaya, antara warga Yogya dan ‘’Wong Timur’’.Karena menurut saya
pribadi, salah satu faktor, rasisme lahir dikarenakan tidak ada komunikasi
lintas budaya secara intens untuk membuka pemahaman terhadap cara menangani
kasus rasial.Adapun cara pemerintah daerah dari berbagai latar belakang
mahasiswa yang terksan, tidak memahami belajar di lingkungan masyrakat,
sehingga di bangunlah Asrama-asrama Mahasiswa.Saya pribadi tidak menyetujui hal
ini.Yogyakarta, adalah miniaturnya Indonesia.Apabila kita terkurung dalam
lingkungan satu suku atau satu daerah saja, pemikiran kita akan sulit memaknai
arti Kebhinekaan dalam bingkai hidup di Kota Yogyakarta.
Tawaran khusus dari saya untuk Pihak Kepolisian DIY, harus bertindak
tegas kepada siapapun pelaku yang mengganggu kenyamanan, dalam lingkungan
masyarakat Yogyakarta.Usut provokator di balik akun sosial media, yang
meberitakan kebohongan, yang seringkali mejadikan hal ini pemicu tidak
harmonisnya masyarakat pribumi dan pendatang.
Sebagai penutup, saya sedikit bercerita tentang kawan saya bernama Indra
(Kepulauan Tidore), Mahasiswa UMY, yang pada desember tahun 2014 yang lalu,
hilang tertelan ombak di Pantai
Bugel,Kab.Kulon Progo.Indra dan beberapa Kawan “Wong Timur” yang telibat dalam advokasi Petani di daerah
tersebut.Sampai sekarang Indra belum di temukan.Apa yang kita petik dalam
peristiwa hilangnya Indra?, kalau saya pribadi menganggap:tidak semua “Wong Timur” itu ‘perusuh’, banyak dari
mereka yang melakukan kebaikan di kota Yogyakarta Ini.Terakhir dari saya,
diantara “Wong Timur” yang baik pasti
ada beberapa orang yang tidak baik, di antara “Wong Yogya”, yang baik pasti ada beberapa yang tidak baik.Jangan
karena ulah seseorang kita memberi pelebelan tertentu kepada semua yang
berkulit sama, dan berambut sama.Sejatinya tidak ada kata perbedaan antara yang
dari Indonesia bagian timur dan yang asli Yogyakarta.Kita semua sama:di bawah
payung Indonesia.]
_Essay Terbaik di Indonesia Youth Summit 2015, UGM.