Senin, 02 November 2015

Rasisme Terhadap “Wong Timur”

          




    Masih tertancap matang di kepala saya, beberapa minggu yang lalu, saya ‘Wong Timur’ di rasis habis-habisan di kota Yogyakarta  yang ‘Berbudaya’ Ini.Jumat, (7/8/2015) malam sekitar pukul 21.00, terjadi penganiyaan di depan salah satu kampus swasta di jalan Timoho, Gondukusuman, Daerah Istimewah Yogyakarta.Tersangkanya seorang Mahasiswa bernama Anis, yang berasal dari Papua, dan korban M.Firza (20).Dari kasus yang menewaskan M.Firza inilah, saya dan kawan-kawan yang di kelompokan dengan dua kata:’Wong Timur’, terbawa perasaan was-was karena takut dengan berbagai ancaman yang di sebar dengan via Media Sosial sehingga, dalam beraktivitas pun berjalan  dengan pikiran yang tertekan.


      Setelah kejadian itu hp saya berdering tanda dua pesan masuk secara bersamaan, yang isinya sebuah himbauan untuk saya dan teman-teman agar berhati-hati, karena ada ancaman penyisiran ‘Wong Timur’.’’Kawan-kawan, diharapkan dalam beberapa waktu kedepan ini jangan ada yang keluar malam.Ormas dan warga Yogya sedang adakan  razia karena tadi ada bentrokan antara mahasiswa papua dan warga yogya, di depan kampus **MD (Red).Takutnya kawa-kawan jadi salah sasaran.Sebarkan... Salam Manis!”.Pesan ini dikirim oleh teman saya bernama Novet (Halmahera Utara), dan Sahman (Pulau Morotai).Saya pun bergegas menanyakan kronologis kejadian pada beberapa teman yang alamatnya tidak jau dari TKP.Jawaban mereka sama yang di beritakan pada beberapa media online sesaat kejadian itu terjadi.Pukul 23.00 (WIB), saya langsung menghampiri kos-kosan dan kontrakan saudara-saudara saya yang berasal dari Kepulauan Sula, untuk memberitau pesan tersebut.Setibanya di kontrakan salah satu saudara saya bernama Rifandi Pauwah, ketika mengetok pintu, di dalam rumah ada yang teriak:”Buat kode”.Entah kode apa yang di maksud.Saya pun membalasnya dengan:”Ini beta, Idra”.Dibukalah pintunya, dan saya masuk.”Kalo masuk, beri kode.Keadaan mencekam seperti ini kita harus hati-hati, jangan sampai ada penyerangan di kontrakan”, kata Rifandi kepada saya.Singkatnya mereka sudah tau berita itu, dan saya lanjut ke kos-kosan dan kontrakan saudara saya yang lain.
                                                                        ***

        Berselang beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal Jumat, (14/08), beredar kembali di media sosial bahwa, ada bentrokan antara Mahasiswa Papua dan Warga Yogya, di depan Hotel New Shapir, Jl.Laksada Adisucipto, Gondokusuman, Demangan, Daerah Istimewa Yogyakarta.Dengan foto-foto yang mengambarkan suasana yang lagi memanas, sontak hal tersebut membuat rasisme makin marajalela.Ada seorang pengguna Twetter berinisial LJ berkicau:” Sultan hrs turun tangan ne orang timur bikin kerusuhan lagi,jogja ini kota pelajar disi bukan cari kerusahan tapi cari ilmu.Lebih baik usir #Timoho”, lontarnya dan di balas pengikut akunnya dengan kalimat-kalimat Diskriminatif terhadap ‘Wong Timur’.Padahal banyak yang tidak lihat apa yang terjadi di lapangan, yang terjadi pada hari itu adalah aksi penolakan Pembangunan Bandara, oleh para petani dari Kab.Kulon Progo, yang melakukan aksinya di Jl.Malioboro, Titik 0 (Nol) kilometer, DIY.

    Kasus penganiayaan yang menewaskan M Firza (20) di atas, mengingatkan saya pada pengroyokan terhadap saudara saya Alm.Zulfikar Majid yang pelakunya pengamen ,pada Jum'at, 15 Agustus 2014 yang lalu,sekitar pukul 22.00 WIB.Kronoligisnya, berawal dari Alm.Zulfikar bersama kawan-kawannya yang berasal dari Halmahera Tengah berencana mengadakan penggalagan dana berupa pentas budaya di Taman Batik, Jl.Malioboro, Kawasan Nol KM, DIY,  untuk kegiatan Malam Keakraban oraganisasi daerah mereka.Sesampainya di jalan Malioboro, mereka mangkal di depan Monumen Serangan 1 Maret, menunggu kawan-kawan mereka yang belum tiba.Mereka yang duduk santai, di hampiri empat orang pengamen.Asrul, salah satu kawan Alm.Zulfikar memberi tanda maaf kepada pengamen bahwa mereka tidak ada uang.Para pengamen tidak menggubris, mereka tetap bernayanyi.Tak terima tidak di beri uang, salah seorang pengamen langsung membentak:”Seribu aja”.Asrul langsung membalas:”Kalian pengamen atau preman, kami benar-benar tidak ada duit”.Kata asrul.Salah satu pengemen langsung menarik- kerah bajunya.Alm.Fikar yang tak terima dengan perlakuan pengamen, langsung melerai dan adu mulut pun terjadi dan berujung pada pengroyokan terhadap Alm.Fikar dan Asrul.Singkatnya, Asrul selamat dalam kejadian itu dan Fikar tewas selang beberapa hari kemudian.Yang anehnya, seorang pengamen berteriak:”Wong Jogja e..”, (Bermaksud, memanggil massa untuk mengkroyok Fikar dan Kawan).
Kronologis ini saya di beritahu langsung oleh Asrul.
  
   Setelah pengroyakan itu saya juga ikut dalam pengwalan persidangan di Pengadilan Tinggi Negiri (PTN) Yogyakarta.Proses mengadili tersangka sangat lama, dikarenakan ada seorang pelaku yang ayahnya salah satu Perwira Kepolisian di Yogya, dan mengintervensi persidangan.Yang membuat kami tak puas dengan proses hukum, tidak ada pemberitahuan jadwal persidangan dan kesaksian saksi yang mengatakan pelakunya lebih dari empat orang, tidak di gubris oleh kepolisian untuk meuntaskan kasus ini seadil-adilnya.Pada bulan Maret 2015, hasil persidangan di PTN Yogyakarta memutuskan para pelaku di jatuhi hukuman kurang delapan tahun.Pertanyaannya apakah saya, saudara dan kawan dari Alm.Fikar , akan membalas aksi kejahatan ini?, jawabannya tidak!.Saya dan kawan-kawan yang berasal dari Maluku Utara berstatmen:”Adili pelakunya sesusai hukum yang berlaku, hukum jangan pandang bulu”,pada aksi Anti-Diskriminasi, di PTN Yogyakarta sesaat sebelum pembacaan tuntutan.Saya dan kawan-kawan sadar, orang tua hanya menitipkan kami di Yogya ini hanya untuk kuliah:itu saja.Pembunuhan yang di alami Alm.Fikar, hanyalah musibah dari tuhan.
                                                                    *** 
    Apa bila saya di tanya, apakah anda pernah di rasis?. Jujur, kadang saya hanya diam dan menatap mata orang yang menanyakan hal tersebut.Masalah rasis, membawa kuliah saya hancur.Saya yang saat ini menjadi Mahasiswa Semeter tujuh ,di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fakultas Pertanian, sempat mengalami masa-masa suram.Hampir empat bulan saya tak mengikuti perkuliahan, karena depresi.Pada semeter empat yang lalu, Dosen di salah satu Jurusan saya Agribisnis, mengdiskriminasi saya dengan berkata:”Dasar timur, sifatnya jelek-jelek”.Kejadian ini bermula ketika saya membela sorang teman  baik saya- bernama Udin (Yogya), ketika ia di kritik habis-habisan oleh sang dosen dan kawan-kawan di kelas kulaih tersebut.Kejadian ini membuat saya merasa malu, dan tidak layak lagi berkuliah di UMY-Sampai saat ini saya masih tertekan, dan tidak masuk kampus.Apakah saya dendam dengan dosen yang mendiskrimiasikan saya?, jawabannya:Tidak.Saya terlalu banyak mengalami hal seperti ini.Apa bila dendam saya akan ‘mecelekai’ puluhan orang di Kota Yogyakarta ini.
 
   Stereotype atau stigmatisasi “Wong Timur” (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua), adalah sumber ‘kejahatan dan keonaran’ di Yogyakarta, sudah masuk pada sesi akut.Banyak kawan-kawan saya Laki-laki maupun Perempun yang kulitnya condong Ras Malenesian yaitu hitam-kecoklatan dan berambut keriting, apa bila mencari kos-kosan atau kontrakan, sering di tanya:”wong Timur?, maaf.. kosannya sudah penuh”.Hal ini saya pun mengalaminya sendiri.


   Dalam penjelasan secara hukum, diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,ekonomi,sosial dan budaya.

    Pandangan saya terhadap masalah diskriminatif ’Wong Timur’ ini, sebagai solusi nyata banyak saya sendiri dan kawan-kawan ‘Wong Timur’’ lainnya sudah perbuat.Misalkan pada sepanjang bulan Ramadhan kemarin kami dari Mahasiswa Maluku Utara, mengadakan pentas seni di Taman Batik, Jalan Malioboro.Dengan tujuan memperkuat silaturahmi di bulan Ramadhan dengan kesenian Qasidah dari Provinsi Maluku Utara.Adapun Hari ulang Tahun Kab.kep.Sula, yang saya dan teman-teman Sula, adakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Jalan Malioboro.Pada tanggal 6 juni, yang lalu.Dengan Tema “Manatol (Persaudaraan) dari Sula Untuk Indonesia”.Ivent ini di kunjungi sekitar 750 pengunjung.Di isi dengan- pementasan budaya, dan Teater dengan Naskah ‘’Fat Banas”, yang menceritakan kisah adu domba Portugis terhadap rakyat sula.Bernuansa kedaerahan, akan tetapi pesan dari acara ini adalah rasa cinta Kebihinekaan Tunggal Ika.Terakhir, pada tangggal 5 agustus kemarin, saya bersama kawan-kawan dari Front Mahasiswa Nasional (Fmn),Sekolah Bersama (Sekber), dan Mahasiswa Maluku Utara mengadakan Aksi Budaya menuntut Pemerintah Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY) mennghentikan maraknya pembangunan hotel dan lindungi Petani kulon Progo dari serbuan pemodal.Beberap Ivent ini atas adalah sesuatu konkrit yang telah dilakukan, dengan tujuan menjunjung langit Yogyakarta bersama isinya.
  
   Untuk solusi kedepan, Sudah menjadi urgen seharusnya ada ruang dialog intens, antara perwakilan masyarakat Yogyakarta, Mahasiswa “Wong Timur”, Pemda, dan Pihak Keamanan.Ketika hal ini dilakukan akan lahir perbincangan yang isinya lintas budaya, antara warga Yogya dan ‘’Wong Timur’’.Karena menurut saya pribadi, salah satu faktor, rasisme lahir dikarenakan tidak ada komunikasi lintas budaya secara intens untuk membuka pemahaman terhadap cara menangani kasus rasial.Adapun cara pemerintah daerah dari berbagai latar belakang mahasiswa yang terksan, tidak memahami belajar di lingkungan masyrakat, sehingga di bangunlah Asrama-asrama Mahasiswa.Saya pribadi tidak menyetujui hal ini.Yogyakarta, adalah miniaturnya Indonesia.Apabila kita terkurung dalam lingkungan satu suku atau satu daerah saja, pemikiran kita akan sulit memaknai arti Kebhinekaan dalam bingkai hidup di Kota Yogyakarta.

  Tawaran khusus dari saya untuk Pihak Kepolisian DIY, harus bertindak tegas kepada siapapun pelaku yang mengganggu kenyamanan, dalam lingkungan masyarakat Yogyakarta.Usut provokator di balik akun sosial media, yang meberitakan kebohongan, yang seringkali mejadikan hal ini pemicu tidak harmonisnya masyarakat pribumi dan pendatang.
    
  Sebagai penutup, saya sedikit bercerita tentang kawan saya bernama Indra (Kepulauan Tidore), Mahasiswa UMY, yang pada desember tahun 2014 yang lalu, hilang  tertelan ombak di Pantai Bugel,Kab.Kulon Progo.Indra dan beberapa Kawan “Wong Timur” yang telibat dalam advokasi Petani di daerah tersebut.Sampai sekarang Indra belum di temukan.Apa yang kita petik dalam peristiwa hilangnya Indra?, kalau saya pribadi menganggap:tidak semua “Wong Timur” itu ‘perusuh’, banyak dari mereka yang melakukan kebaikan di kota Yogyakarta Ini.Terakhir dari saya, diantara “Wong Timur” yang baik pasti ada beberapa orang yang tidak baik, di antara “Wong Yogya”, yang baik pasti ada beberapa yang tidak baik.Jangan karena ulah seseorang kita memberi pelebelan tertentu kepada semua yang berkulit sama, dan berambut sama.Sejatinya tidak ada kata perbedaan antara yang dari Indonesia bagian timur dan yang asli Yogyakarta.Kita semua sama:di bawah payung Indonesia.]



_Essay Terbaik di Indonesia Youth Summit 2015, UGM.